PERKEMBANGAN HUKUM PAJAK DI INDONESIA

Pengertian Hukum Pajak menurut ahli

Hukum pajak atau hukum fiskal adalah sekumpulan peraturan yang mengatur hak dan kewajiban serta hubungan antara wajib pajak dan pemerintah selaku pemungut pajak. Namun, arti mengenai dari hukum ini sebenarnya beragam. Berikut adalah penjelasan mengenai hukum fiskal dari beberapa ahli :
1.      Hartono Hadisoeprapto
Hartono Hadisoeprapto menyatakan, hukum pajak adalah serangkaian peraturan yang mengatur bagaimana pajak dipungut, atas keadaan atau peristiwa apa pajak tersebut dikenakan, serta berapa besar atau jumlah pajak yang dikenakan.
2.      Santoso Brotodihardjo
Menurut Santoso Brotodihardjo, hukum perpajakan atau yang juga dikenal sebagai hukum fiskal merupakan aturan-aturan yang meliputi wewenang atau hak pemerintah dalam mengambil kekayaan seseorang dan memberikannya kembali ke masyarakat melalui kas negara. Dalam hal ini, hukum ini merupakan hukum publik yang mengatur hubungan orang pribadi atau badan hukum yang memiliki kewajiban untuk menunaikan pajak (wajib pajak) dengan Negara.

3.      Soeparman Soehamidjaja
Menurut Dr. Soeparman Soehamidjaja hukum fiskal adalah hukum yang mengatur masalah perpajakan yang akan meringankan biaya produksi barang dan jasa untuk mencapai kesejahteraan umum.
Jadi hukum perpajakan atau hukum fiskal merupakan suatu yang merupakan bagian dari hukum publik yang mengatur masalah perpajakan antara rakyat sebagai wajib pajak dan pemerintahan selaku pemungut pajak.


Sejarah Hukum Pajak

Era Pra Kemerdekaan (Dari Masa Kerajaan Sampai Penjajahan)
Bangsa Indonesia telah mengenal pungutan sejenis pajak bahkan sebelum dijajah oleh Bangsa Eropa dan Jepang. Masyarakat telah mengenal upeti yaitu pungutan sejenis pajak yang bersifat memaksa. Perbedaannya adalah upeti diberikan kepada raja sebagai persembahan. Karena pada masa itu raja dianggap sebagai wakil tuhan dan apa yang terjadi di masyarakat dianggap dipengaruhi oleh raja.
Meskipun kemudian masyarakat mendapat imbalannya berupa jaminan keamanan dan ketertiban dari raja. Perlu dicatat bahkan pada masa itu beberapa kerajaan seperti Majapahit, Demak, Pajang, dan Mataram mengenal sistem pembebasan pajak. Terutama pajak atas kepemilikan tanah yang biasa disebut tanah perdikan. Biasanya pembebasan tersebut diatur dalam beleid yang dituangkan baik dalam prasasti ataupun dicatat dalam kitab kesusastraan. Ketika masuk era kolonialisasi oleh Belanda dan bangsa Eropa pajak mulai dikenakan.
Dalam catatan sejarah badan otonomi Belanda yaitu VOC memungut pajak diantaranya Pajak Rumah, Pajak Usaha dan Pajak Kepala kepada pedagang Tionghoa dan pedagang asing lainnya. Namun, VOC tidak memungut pajak di wilayah kekuasaanya seperti Batavia, Maluku dan lainnya. Kemudian pada masa Gubernur Jenderal Daendels juga ada pemungutan pajak yaitu memungut pajak dari pintu gerbang (baik orang dan barang) dan pajak penjualan barang di pasar (bazarregten), termasuk pula pungutan pajak terhadap rumah.
Masuk ke era pendudukan Inggris, Gubernur Jenderal Raffles juga dikenal sistem pemungutan pajak yang dikenal dengan landrent stesel yang mana meniru sistem pengenaan pajak di Bengali, India yaitu pengenaan pajak atas sewa tanah masyarakat kepada pemerintah kolonial. Inilah yang menjadi cikal bakal pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Pengenaan pajak landrent stesel ini berdasarkan System Rayatwari yaitu pengenaan pajak secara langsung kepada para petani. Dalam hal ini tarif pajak adalah pendapatan rata-rata petani dalam setahun. Raffles beranggapan bahwa tanah yang dikelola oleh petani merupakan tanah para raja (sovereign) sedangkan para raja dianggap menyewa tanah tersebut kepada pemerintah kolonial. Dalam hal ini Inggris.
Kemudian terdapat juga aturan mengenai pajak penghasilan pada era kolonial. Aturan pajak atas penghasilan dikenakan kepada pribumi maupun orang non-pribumi yang mendapat penghasilan di Hindia Belanda, sebutan Indonesia kala itu. Aturan ini yang menerapkan adalah pemerintah kolonial Belanda pada awal abad ke-19. Pajak pendapatan untuk pribumi dikenakan atas kegiatan usahanya seperti perdagangan sehingga dikenal dengan business tax sedangkan untuk orang non-pribumi dikenakan atas paten usaha bidang industri, pertanian, kerajinan tangan, manufaktur dan sejenisnya sehingga disebut tax patent duty. Contoh aturan pengenaanya adalah Ordonantie op de Inkomstenbelasting 1908 dengan tarif pengenaan pajak pendapatan adalah 2% dari pendapatan.
Pada zaman penjajahan Jepang lebih banyak tidak banyak diketahui. Mengingat pada masa itu pemerintah Jepang lebih memfokuskan semua sumber daya untuk biaya perang. Maka, sulit memisahkan mana yang merupakan pajak dengan rampasan pemerintah itu sendiri kepada rakyat. Namun, di masa itu rakyat selain dibebani dengan kewajiban Romusha juga rakyat dibebani dengan membayar pungutan yang dianggap sebagai pajak. Hal ini sangat memberatkan rakyat Indonesia pada waktu itu meskipun hanya berlangsung selama kurang lebih 3,5 tahun.
Begitu lekatnya masyarakat Indonesia dengan pajak sampai dengan sekarang ini. Namun, ada dampak negatif akibat dari pengenaan pajak di era kolonial dan era sebelumnya. Yaitu menjadikan sebagian masyarakat menganggap pajak itu hanya bentuk superioritas penguasa kepada rakyatnya. Karena bukan hanya ada, bahkan hampir semua sektor pemungutan pajak pada masa itu dilakukan dengan cara manual dan tanpa pengawasan. Hal ini menjadi penyebab rawannya penyelewengan pemungutan pajak pada masa itu yang menimbulkan banyak dilema dan meninggalkan kesan negatif hingga saat ini.
Di era selanjutnya ketika Indonesia sudah merdeka pengenaan pajak sudah lebih konservatif dan berkeadilan yang dituangkan dalam berbagai aturan yang sah diterbitkan oleh Pemerintah Republik Indonesia.
Era Pasca Kemerdekaan Sampai Era Reformasi Perpajakan
Setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh Soekarno dan Mohammad Hatta pajak menjadi salah satu opsi penting yang dibahas pemerintah Republik Indonesia. Maka dari itu para pendiri bangsa ini menuangkannya pada Undang-Undang Dasar 1945 yang sudah sejak tanggal 14 Juli 1945. Yaitu pada saat sidang BPUPKI. Maka masuklah pajak dalam Pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945 dengan kalimat “Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan Undang-Undang”. Ini menjadi tonggak awal era baru pajak di Indonesia serta cikal bakal diperingatinya tanggal 14 Juli sebagai Hari Pajak.
Kemudian pada tanggal 19 Agustus 1945 Kementerian Keuangan dibentuk sebagai bagian dari pemerintah yang mengurus  tentang keuangan negara. Di dalam organisasi Kementerian Keuangan tersebut terdapat Pejabatan Pajak yaitu bagian yang mengurusi tentang pengenaan pajak di Indonesia. Tidak lama setelah pemerintah baru ini berdiri ternyata Agresi Militer Belanda Pertama yang dibantu oleh NICA berhasil menguasai ibukota Jakarta. Sehingga pemerintah memindahkan ibukotanya ke Yogyakarta. Begitupun Kementerian Keuangan dan Pejabatan Pajak ikut pindah ke sekitar Yogyakarta tepatnya di daerah Magelang. Itulah mengapa sering kita mendengar cerita kalau kantor pajak pertama ada di Magelang.
Karena hal itu pula pemerintah belum dapat mengeluarkan undang-undang khusus yang mengatur tentang pajak meskipun Pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945 pada saat itu mengamanatkan demikian. Padahal roda pemerintahan dan pembiayaan pengeluaran negara harus tetap dijalankan. Maka, pemerintah mengadopsi beberapa aturan tentang pajak peninggalan pemerintahan kolonial. Antara lain Ordonansi Pajak Pendapatan 1944 serta membentuk beberapa suborganisasi dalam melaksanakan pemungutan pajak. Seperti Jawatan Pajak, Jawatan Bea dan Cukai serta Jawatan Pajak Hasil Bumi pada Direktorat Jenderal Moneter. 
Pada masa itu pemerintah menerapkan sistem official assesment dalam pengenaan pajak kepada masyarakat yaitu sistem pemungutan pajak dengan cara penetapan oleh fiskus. Masyarakat sebagai wajib pajak bersifat pasif dan utang pajak akan timbul ketika Surat Ketetapan Pajak dikeluarkan. Pada masa itu sistem ini dirasa pemerintah masih mengakomodir pemungutan pajak di Indonesia. Mengingat negara ini baru berdiri dan permasalahan mengenai pajak belum serumit seperti sekarang ini. Tapi meskipun pada kenyataanya pajak di masa itu menjadi sumber utama penerimaan negara dan menggunakan sistem official assesment tetap saja negara masih dalam kondisi miskin. Kondisi ini semakin parah ketika Presiden Soekarno mengubah haluan politiknya lebih ke arah paham sosialisme Karl Max versi Indonesia. Akibatnya adalah kampanye politik luar negeri yang ekspansif dilakukannya sehingga menimbulkan dampak pengeluaran negara yang lebih besar. Sedangkan penerimaan negara dari pajak cenderung stagnan.
Puncaknya adalah ketika di tahun 1960an rezim Orde Lama (sebutan untuk rezim Soekarno) sedang gencar-gencarnya melaksanakan kampanye “Ganyang Malaysia” dan menggalakan proyek-proyek mercusuar seperti pembangunan Senayan dan Monumen Nasional. Akibatnya adalah inflasi yang meroket pada saat itu mencapai 500%. Imbas lanjutannya yaitu ketika rezim berikutnya berkuasa mulai terjadi gejolak ekonomi. Tepatnya pada saat masa pemerintahan Presiden Soeharto.
Rezim baru ini mewarisi dampak dari pemerintah sebelumnya. Perekonomian tidak stabil dengan inflasi mencapai 600%. Kebijakan ekonomi pemerintah sebelumnya terbukti gagal menghadapi perkembangan zaman. Tanpa pikir panjang Presiden Soeharto langsung mengambil langkah sakti yaitu menekan inflasi dengan utang luar negeri. Agaknya pada saat itu hanya utang luar negeri yang dirasa logis ketimbang melaksanakan pembaharuan atau optimalisasi dari pajak. 
Meskipun begitu pada tahun 1965 rezim ini berhasil memberi terobosan baru di bidang fiskal yaitu desentralisasi pajak atas Pajak Hasil Bumi kepada pemerintah daerah dan mengubah namanya menjadi IPEDA (Iuran Pembangunan Daerah) serta dimulailah pembangunan kantor IPEDA di berbagai daerah. Di sini pembagian wewenang antara pajak yang dikelola pusat dan daerah mulai terlihat. Juga awal mula penggunaan sistem self asssesment mulai terlihat. Terbitnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1967 dan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1967 tentang perubahan mengenai Tata Cara Pemungutan Pajak Pendapatan Tahun 1944, Pajak Kekayaan 1932, dan Pajak Perseroan 1925 menjadi cikal bakal pemungutan pajak dengan menggunakan sistem self asssesment.
Sistem pemungutan pajak baru yang dicetuskan oleh Orde Baru ini pada saat itu dikenal dengan MPS (Menghitung Pajak Sendiri) dan MPO (Menghitung Pajak Orang Lain). Sistem ini muncul setelah evaluasi pemerintah terhadap kegagalan sistem pemungutan pajak yang lama dimana peran penghitungan pajak dilakukan sepihak oleh fiskus. Sedangkan di sistem baru ini sebagian besar penghitungan pajak dilakukan oleh wajib pajak. Wajib pajak diberi kewenangan untuk menghitung pendapatan dan kekayaannya sendiri kemudian diberikan kewenangan pula untuk menghitung pajaknya sendiri.
Sistem ini telah diterapkan di Amerika serta beberapa negara Eropa lainnya dan terbukti efektif dalam melakukan pemungutan pajak. Angin segar kembali menerpa bangsa Indonesia masa itu. Kebijakan ekonomi pemerintah mulai terarah dan lebih baik ketimbang rezim sebelumnya. Namun, di masa yang akan datang kembali beberapa masalah muncul dan menjadikan aturan yang baru ini tidak lagi relevan dan berdampak pada perombakan besar terhadap aturan ini pada tahun 1983.       

Peraturan Perundangan Perpajakan antara lain:

  • Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 Tentang Bea Materai.
  • Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan.
  • Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
  • Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 Tentang Penghasilan.
  • Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 Tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Barang dan Jasa dan Penjualan atas Barang Mewah.
  • Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 Tentang Penagihan Pajak  dengan Surat Paksa.
  • Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.
  • Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak.

Fungsi Hukum Pajak

Pajak memiliki sejumlah fungsi yang didasarkan pada asas-asas yang bertujuan untuk mensejahterakan rakyat. Adapun fungsi hukum fiskal adalah sebagai berikut:
  1. Berfungsi sebagai acuan dalam menciptakan sistem pemungutan pajak yang berlandaskan atas dasar keadilan, efisien, serta diatur sejelas-jelasnya dalam undang-undang tentang hukum fiskal itu sendiri.
  2. Berfungsi sebagai sumber yang menerangkan tentang siapa subjek dan objek yang perlu atau tidak perlu dijadikan sumber pemungutan pajak demi meningkatkan potensi pajak secara keseluruhan.
  3. Untuk memakmurkan dan mensejahterakan rakyat. Negara yang berhasil adalah negara yang dapat membuat rakyat atau masyarakatnya merasa bahagia secara umum baik dari sudut pandang ekonomi ataupun sosial kemasyarakatan.
  4. Untuk menciptakan kertertiban dalam menciptakan suatu kondisi lingkungan yang bersuasana kondusif serta damai dibutuhkan pemeliharaan atas ketertiban umum yang mendapat dukungan secara penuh oleh rakyat
  5. Hukum ini juga akan membuat sebuah negara harus dapat memberikan rasa aman dan menjaga dari berbagai macam gangguan ataupun ancaman yang berasal dari luar ataupun dari dalam negeri sendiri
  6. Seperti pada hukum lain, hukum perpajakan juga untuk mengakan keadilan. Negara menyusun lembaga peradilan yang digunakan sebagai wadah bagi warga negara untuk meminta keadilan diseluruh aspek / bidang, termasuk pada perpajakan

Jenis-jenis Hukum Pajak

Jenis-jenis hukum perpajakan adalah sebagai berikut:

1.      Hukum Pajak Formal

Hukum perpajakanyang memuat adanya ketentuan-ketentuan dalam mewujudkan hukum pajak material menjadi kenyataan. Hukum perpajakan  formal memuat tata cara atau prosedur penetapan jumlah utang perpajakan, hak-hak fiskus untuk mengadakan evaluasi. Hukum perpajakan formal juga menentukan kewajiban wajib pajak untuk mengadakan pembukuan, serta prosedur pengajuan surat keberatan maupun banding. Contoh hukum perpajakan formal adalah Tata Cara Perpajakan.

2.      Hukum Pajak Material


Hukum pajak yang memuat tentang ketentuan-ketentuan terhadap keadaan yang dikenai pajak (objek pajak), siapa yang akan dikenakan pajak (subjek pajak) dan siapa yang dikecualikan dengan pajak serta berapa jumlah yang harus dibayar (tarif pajak). Contoh hukum perpajakan  material adalah pajak penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CONTOH SOAL TENSES

DIBESARKAN KANTONG AJAIB DORAEMON

SEJARAH DESA SUKAMANDIJAYA