METABOLISME OBAT


METABOLISME OBAT
                Jika obat-obatan diberikan kepada seorang pasien, molekul-molekul obat tersebut jarang muncul dari pasien dalam bentuk tidak berubah. Sebagian besar senyawa-senyawa asing (atau xenobiotik) yang masuk ke dalam tubuh mengalami berbagai macam perubahan kimia yang di sebabkan oleh enzim-enzim yang terdapat di dalam hati, usus, ginjal, paru-paru, dan jaringan-jaringan lainnya. Perubahan-perubahan ini (terutama reaksi oksidasi) dapat menghasilkan senyawa-senyawa (atau metabolit) yang bersifat toksik. Metabolit-metabolit ini dapat bereaksi denagn makromolekul-makromolekul penting di dalam tubuh (seperti DNA dan protein) dan menyebabkan tosisitas. Oleh karena itu, pengetahuan mengenai mekanisme yang menimbulkan terjadinya pembentukan metabolit obat menjadi sesuatu yang penting dilihat dari segi keamanan obat.
                Strategi utama tubuh dalam menghadapi xenobiotik ini adalah dengan mengubah molekul tersebut menjadi derivat yang lebih hidrofilik atau terlarutkan air, yang selanjutnya dapat diekskresi melalui ginjal di dalam urine. Reaksi ini, secara keseluruhan, dikenal sebagai metabolisme obat, walaupun sistem tubuh yang melaksanakan biotranformasi ini terbentuk melalui evolusi jauh sebelum obat digunakan secara terapeutik. Nenek moyang kita selama hidupnya terpajan racun-racun lingkungan dan bahan-bahan kimia asing yang terdapat di dalam makanan mereka dan mekanisme telah dikembangkan untuk mendetoksifikasi senyawa-senyawa tersebut dan melindungi tubuh.
                Saat ini situasinya bahkan lebih komplek, meskipun terdapat perbedaan. Pemakaian obat “rekreasional”, seperti tembakau dan alkohol, menyebabkan tubuh terpapar dengan ribuan senyawa asing, yang kebanyakan berpotensi toksik. Racun-racun lingkungan, seperti residu pestisida di dalam makanan, dan karsinogen-karsinogen (senyawa penyebab kanker) hasil pemanasan lemak dan protein yang senyawa-senyawa eksogen nonesensial yang di absorbsi oleh manusia modern yang dapat membahayakan kesehatan mereka. Penggunaan obat-obatan untuk tujuan terapeutik harus mengacu pada latar belakang ini, dan seorang siswa harus familiar dengan reaksi-reaksi yang terjadi pada proses metabolisme obat dan efek-efek biotransformasi ini terhadap akstivitas farmakologi, durasi kerja, dan toksisitas obat.




JALUR - JALUR METABOLISME
                Senyawa-senyawa asing, seperti obat-obatan, yang masuk ke dalam tubuh mengalami transformasi enzimatik, yang biasanya menyebabkan hilangnya aktivitas farmakologik. Ini dikenal dengan detoksifikasi. Kadang-kadang, kerja enzim-enzim ini dapat mengubah senyawa-senyawa inaktif (atau bakal obat) menjadi senyaawa yang aktif secara farmakologi. Pada kasus ini, prosesnya disebut sebagai bioaktivasi. Bakal obat adalah derivat yang inaktif secara farmakologi dan molekul aktif yang dirancang hancur di dalam tubuh dan membebaskan obat aktif. Pendekatan bakal obat sering digunakan di dalam farmasi untuk mengatasi masalah-masalah seperti absorpsi yang buruk atau ketidakstabilan ketika obat indul diberikan secara oral, atau jika obat induk tersebut mempunyai rasa atau bau yang tidak enak sehingga perlu disamarkan.
                Ada dua jenis utama biotransformasi uang ditemukan di dalam tubuh, secara imajinatif disebut Fase I dan Fase II, walaupun banyak obat-obatan mengalami kedua proses ini.
                Reaksi fase 1 merupakan reaksi pemasukan gugus fungsi baru ke dalam molekul, atau gugus yang telah ada diubah menjadi derivat yang lain (biasanya menjadi lebih terlarutkan air). Reaksi fase 2 (konjugasi) adalah reaksi saat gugus fungsi yang telah ada di dalam molekul di tutupi dengan adanya penambahan gugs baru. Konjugat terbentuk di antara obat dan senyawa hidrofilik, seperti asam glukoronat, dan konjugat yang dihasilkan (glukuronida) biasanya akan bersifat lebih terlarutkan air dibandingkan dengan obat induk. Sebagian besar obat bersifat hidrofobik sehingga bukan sifatnya terlarutkan air. Metabolisme mejadi derivat yang lebih terlarutkan air dan lebih kecil toksistasnya mengakhiri kerja obat dan memungkinkan tubuh untuk mengekskresi obat tersebut denagn mudah di dalam urine. Jika obat yang diberikan memang telah bersifat hidrofilik, seringkali molekul yang dikeluarkan berada dalam bentuk yang tidak berubah.
                Proses-proses yang terlibat dalam metabolisme obat terdiri atas reaksi kimia yang sederhana, seperti oksidasi (yang paling umum ), reduksi, dan dealkilasi, dan dipengaruhi oleh beberapa faktor termasuk:

  1. ·         Faktor-faktor genetik. Perbedaan-perbedaan ditemukan di antara spesies (faktor ini penting karena sebagian besar obat-obatan untuk manusia, di uji pertama kali pada hewan) dan di antara individu di dalam suatu populasi.
  2.        Faktor-faktor fisiologik. Faktor ini termasuk usia pasien, jenis kelamin, kehamilan dan status gizi. Pasien yang sangat muda organ hatinya belum berkembang sempurna, dan pasien yang sangat tua yang fungsi hatinya telah rusak, lebih lambat dalam metabolisme obat dibandingkan dengan  orang dewasa normal. Perbedaan-perbedaan juga ditemukan pada laju metabolisme antara pria dan wanita, dan di antara wanita hamil denag yang tidak hamil. Penyebab efek-efek ini tidak diketahui, tapi kemungkinan dekarenakan adanya perbedaan pada tingkat sirkulasi hormon-hormon sek
      3. Faktor-faktor farmakodinamik. Dosis, frekuensi dan riute pemberian, serta tingkat pengikatan protein.
·         Faktor-faktor lingkungan. Contohnya adalah pemberian bersama obat-obat lainnya yang dapat memengaruhi laju dan tingkat metabolisme obat, ini benar-benar dapat menjadi masalah anatar hidup dan mati karena pada bebrapa interaksi obat yang berpotensi fatal etrjadi induksi enzim hati dan kompetisi untuk enzim-enzim pemetabolisme obat.
INDUKSI DAN INHIBISI ENZIM
                Banyak obat-obatan dan senyawa-senyawa lingkungan yang dapat meningkatkan metabolismenya serta metabolisme senyawa-senyawa lainnya. Pemberian xenobiotik yang diperpanjangdapat menyebabkan terjadinya peningkatan laju metabolisme berbagai macam senyawa. Proses ini dikenal dengan induksi enzim dan sifatnya bergantung pada dosis. Sebagai efeknya, pemberian xenobiotik menginduksi enzim lebih banyak lagi oleh mikroorganisme. Hal ini berkaitan meningkatnya tantangan metabolisme yang disebabkan oleh xenobiotik tersebut. Meningkatnya jumlah enzim dapat memetabolisme tidak hanya xenobiotik yang menyebabkan induksi, tetapi juga obat-obat lain yang dimetabolisme oleh sistem enzim tersebut. Sistem anzim CYP450 bertanggung jawab terhadap banyaknya biotransformasi, sehingga kemungkinan terjadinya interaksi obat sangat besar.
                Senyawa-senyawa kimia yang terdapat pada lingkungan, seperti hidrokarbon aromatik polisiklik (polycyclyc aromatic hydrocarbon, PAHs) myang terdapat di dalam asap rokok, xhantin, dan flavon di dalam makanan, hidrokarbon terhalogenasi di dalam insektisida, dan zat tambahan makanan, semuanya dapat mengubah aktivitas enzim enzim CYP450. Obat-obatan yang dapat menyebabkan induksi CYP450 termasuk antibiotik, seperti rifampisin dan eritromisin; antikonvulsan, seperti fenobarbital dan fenitoin; dan obat-obatan rekreasional, seperti etanol. Pemberian penginduksi enzim bersama dengan obat-obatan lain (terutama obat dengan indeks terapi yang sempit, misalnya warfarin), dapat menyebabkan terjadinya peningkayan laju metabolisme xenobiotik. Pada kasus ini, pemberian xenobiotik menyababkan terjadinya penurunan laju metabolisme xenobiotik dan obat-obatan yag diberikan besama-sama.


Obat-obat yang berinteraksi dengan CYP450 melalui cara ini diantaranya adalah antagonis reseptor H2-histamin, simetidin, antijamur golongan azol (ketokanozol, flukonazol, dan lain-lain), dan sekat saluran kalsium diltiazem. Jika metabolisme obat dihambat, durasi kerja dan konsentrasi plasme obat-obat pendamping akan meningkat, dan berpotensi menyebabkan timbulnya efek samping dan toksisitas obat. Inhibitor CYP450 dapat dibagi menjadi tiga kategori berdasarkan mekanisme kerjanya.
·         Inhibitor reversibel, seperti simetidin, yang berinteraksi dengan besi terkomplekskan pada sisi aktif enzim untuk menginhibisi oksidasi obat-obatan lainnya. Inhibisi terjadi sebelum oksidasi inhibitor terjadi, dan bersifat reverseibel begitu inhibitor dihilangkan.
·         Kompleksasi intermediet metabolit CYP450. Dalam hal ini, obat akan bekerja pada enzim dan membentuk derivat teroksidasi dengan afinitas yang tinggi terhadap besi pada sisi aktifnya. Contoh jenis inhibisi ini diantaranya obat-obatan alkilamin yang mengalami oksidasi menjadi derifat nitrosoalkana. Jenis inhibisi ini menyababkan tidak tersedianya enzim untuk oksidasi lebih lanjut dan diperlukan sintesis enzim baru untuk memperbaiki aktivitas CYP450.
Inaktivasi CYP450 berdasarkan mekanisme (atau inhibisi bunuh diri) terjadi saat obat nontoksik dimetabolisme oleh CYP450 untuk menghasilkan metabolit yang dapat berkaitan dengan enzim secara reversibel. Mekanisme inhibisi ini biasanya melibatkan alkilasi radikal bebas atau asilasi sisi aktif da menghasilkan dekstruksi aktivitas enzim. Contoh obat yang bekerja dengan cara ini diantaranya adalah antibiotik kloramfenikol dan senyawa antikanker siklofosamid.
                Konjugasi asam amino merupakan rute metabolisme Fase 2 yang penting untuk xenobiotik yang mengandung gugus fungsi asam karboksilat. Asam-asam amino yang terlibat termasuk glisin (asam amino alfa yang palin umum dan paling sederhana), glutamine dan taurin. Konjugasi terjadi dengan pembentukan ikatan peptide antara gugus karboksil dan gugus NH2 asam  amino setelah xenobiotik  diaktivasi melalui reaksi dengan asetil-koenzim A. Kelas utama obat yang dimetabolisme dengan cara ini adalah obat antiinflamasi nonsteroid (AINS), seperti ibuprofen dan ketoprofen. Jika obat-obat AINS bersifat kiral, konjugasi dengan asam amino seringkali menyebabkan terjadinya inverse kiral. Reaksi ini diilustrasikan pada gambar dengan menggunakan asam benzoate sebagai substrat. Produknya, asam hippurat, terdapat di dalam urin  manusia, tetapi pertama kali diisolasi dari urin kuda dan diberi nama dari bahasa Yunani untuk dua kuda, hippos. Konjugat asam amino suatu obat hamper selalu lebih polar dan lebih terlarutkan air dibandingkan dengan molekul induknya.

BERBAGAI MACAM REAKSI KONJUGASI
                Beberapa jenis reaksi konjugasi lainnya terjadinya di dalam metabolisme obat Fase 2. Senyawa-senyawa yang memiliki gugus amino sering mengalami proses asetilasi-N, terutama di dalam hati walaupun diketahui juga tempat lain. Laju asetilasi pada beberapa pasien diketahui bervariasi, dan terbagi menjadi dua populasi pasien, yaitu asetilator cepat (fast acetylators) yang dapat membentuk derivate N-Asetil  secara cepat dan kemudian mengakhiri kerja obat, dan asetilator lambat (slow acetylators) yang tidak dapat melaksanakan perubahan dengan cepat dan mengakumulasikan obat. Kedua populasi ini menunjukkan perbedaan pada laju metabolism sejumlah obat, termasuk prokainamida dan isoniazid (ditunjukkan pada gambar 5.5). n-asetilasi suatu amina jarang terjadi (tidak umum), dan produk yang terbentuk umumnya sedikit lebih kecil kelarutannya dalam air dibandingkan dengan amina induknya, terutama jika larutan bersifat agak asam. Pengecualian terhadap aturan “metabolisme menjadi derivate yang lebih terlarutkan air” ini dapat dirasionalkan sebagai suatu pengakhiran kerja farmakologi pada reseptor. Asetilasi suatu amin menghilangkan tempat utama ikatan hydrogen (pasangan electron menyendiri nitrogen) dari obat sehingga menghancurkan salah satu interaksi tiga dimensi spesifik dengan makromolekul target.
                Glutation merupakan senyawa endogen lain yang sering ditemukan di dalam konjugat obat. Glutation merupakan tripeptida (-GluCysGly) yang ditemukan di dalam hati dengan konsentrasi tinggi. Lihat gambar 5.6. Gugus thiol pada glutation dapat bereaksi dengan obat-obat elektrofilik untuk melindungi sel-sel nukleofil lain (seperti DNA dan protein) dari serangan. Hal ini seringkali merupakan mekanisme detoksifikasi seperti pada kasus N-asetilkuinonimina yang dibentuk dari parasetamol dan epoksida yang terbentuk sebagai hasil metabolisme ikatan rangkap CYP450 (Gambar 5.7)
                Parasetamol merupakan anlagesik bebas (“over the counter”) untuk orang dewasa dan anak-anak yang paling popular di Inggris dan benar-benar aman jika digunakan sesuai dengan dosis yang diekomendasikan (untuk orang dewasa, biasanya tidak lebih dari delapan tablet 500 mg dalam waktu 24 jam). Jika dikonsumsi secara oral, parasetamol cepat diserap dan diangkut ke dalam aliran darah menuju hati, tempat parasetamol dioksidasi (oleh bentuk iso CYP450) menjadi N-Asetil-p-benokuinonimina, seperti yang ditunjukkan pada gambar 5.7. senyawa ini reaktif dan akan mengarilasi makromolekul selular esensial (seperti protein) sehingga menyebabkan tokisitas, yang jika tidak diobati dapat menyebabkan kegagalan fungsi hati sehingga perlu dilakukan transplantasi. Jika paracetamol digunakan sesuai dengan dosis terapi, kadar glutation yang terdapat dalam tubuh cukup untuk mengurangi zat racun kuinonimia kembali menjadi paracetamol. Akan tetapi, jika terjadi overdosis paracetamol dikonsumsi secaa berlebihan, kadar kuinonimin akan melebihi kemampuan glutation untuk mengubahnya kembali menjadi paracetamol dan menyebabkan toksisitas pada hati. Pada beberapa kasus, jika pengobatan tidak segera dilakukan,, akan menyebabkan toksisitas parah dan membawa kepada kematian akibat kegagalan fungsi hati akut. Pengobatan yang dilakukan jika terjadi over dosis paracetamol adalah dengan memberikan N-asetilsistein (Gambar 5.8). Senyawa ini (derive asetil asam amino esensial sostein) berfungsi sebagai sumber alternative gugus thiol (SH), yang bekerja dengan cara yang serupa dengan glutation untuk mendetoksifikasi kuinonimina.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CONTOH SOAL TENSES

DIBESARKAN KANTONG AJAIB DORAEMON

SEJARAH DESA SUKAMANDIJAYA