BIOAVAILABILITAS PARASETAMOL
Ketersediaan
hayati merupakan kecepatan dan jumlah obat yang mencapai sirkulasi sistemik dan
secara keseluruhan menunjukkan kinetic dan perbandingan zat aktif yang mencapai
peredaran darah terhadap jumlah obat yang diberikan. Ketersediaan hayati obat
yang diformulasi menjadi sediaan farmasi merupakan bagian dari salah satu
tujuan rancangan bentuk sediaan dan yang terpenting untuk keefektifan obat
tersebut. Pegkajian terhadap ketersediaan hayati ini tergantung pada absorpsi
obat ke dalam sirkulasi umum serta pengukuran dari obat yang terabsorpsi
tersebut. Dalam menaksir ketersediaan hayati ada tiga parameter yang biasanya
diukur yang an profil konsentrasi dalam darah dan waktu dari obat yang diberikan
(Abdou, 1989).
Konsentrasi
puncak (Cmax), menggambarkan konsentrasi obat tertinggi dalam sirkulasi
sistemik. Konsentrasi ini tergantung pada konstanta absorbsi, dosis, volume
distribusi dan waktu pencapaian konsentrasi obat maksimum dalam darah.
Konsentrasi puncak sering kali dikaitkan dengan intensitas respon biologis dan
harus di atas MEC dan tidak melebihi MTC.
Waktu
untuk konsentrasi puncak (tmax) menggambarkan lamanya waktu tersedia untuk
mencapai konsentrasi puncak dari obat sirkulasi sistemik. Parameter ini
tergantung pada konstanta absorbs yang menggambarkan permulaan dari level
puncak dari respon biologis dan bias digunakan sebagai perkiraan kasar untuk
laju absorbsi.
Luas
daerah di bawah kurva (AUC), merupakan total area di bawah kurva konsentrasi vs
waktu yang menggambarkan perkiraan jumlah obat yang berada dalam sirkulasi
sistemik. Bila membandingkan suatu formulasi untuk acuan, parameter ini
menggambarkan jumlah ketersediaan hayati dan biasa digunakan sebagai perkiraan
kasar jumlah obat diabsorbsi. Ketersediaan hayati merupakan suatu penerapan
baru yang kegunaannya tidak perlu diragukan lagi. Penerapan ketersediaan hayati
berkembang dalam dua arah, yaitu:
1.
Farmasi klinik yang berkaitan dengan rasionalisasi keadaan individu penderita,
artinya penyesuaian pasologi yang tepat pada setiap penderita, dengan
mempertimbangkan perubahan farmakokinetika in vivo, baik karena interaksi obat
maupun karena fungsi fisiolagi.
2.
Farmasetika yang berkaitan dengan rasionalisasi pengembangan suatu obat, yaitu
penyesuaian optimal jalur pemberian obat dan bentuk sediaan terhadap
karakteristik farmakokinetika zat aktif.
Kedua
arah pengembangan tersebut tercakup dalam lingkup penelitian biofarmasetika dan
berkaitan dengan penyesuaian pada kurva profil kadar zat aktif dalam darah
penderita dan efek yang diteliti.
Data
ketersediaan hayati digunakan untuk menentukan:
1.
Banyaknya obat yang diabsorbsi dari formulasi sediaan.
2.
Kecapatan obat yang diabsorbsi.
3.
Lama obat berada dalam cairan biologi atau jaringan dan dikorelasikan dengan
respon pasien.
4.
Hubungan antara kadar obat dalam darah dan efikasi klinis serta toksisitas.
Metode
penilaian ketersediaan hayati
Penelitian
ketersediaan hayati pada sukarelawan dapat dilakukan dengan beberapa metode:
a.
Metode dengan menggunakan data darah
b.
Data urin
c.
Data efek farmakologis
d.
Data respon klinis
Pemilihan
metode bergantung pada tujuan studi, metode analisis untuk penetapan kadar obat
dan sifat produk obat. Data darah dan data urin lazim digunakan untuk menilai
ketersediaan hayati sediaan obat yang metode analisis zat berkhasiat telah
diketahui cara dann validitasnya. Jika cara dan validitasnya belum diketahui
dapat digunakan data farmakologi dengan syarat efek farmakologi yang timbul
dapat diukur secara kuantitatif, seperti efek pada kecepata denyut jantung atau
tekanan darah yang dapat digunakan sebagai indeks ketersediaan hayati obat.
Untuk evaluasi ketersediaan hayati menggunakan data respon klinis dapat
mengalami perbedaan antar individu akibat farkokinetika dan farmakodinamik obat
yang berbeda. Factor farmakodinamik yang berpengaruh meliputi: umur, toleransi
obat, interaksi obat dan factor-faktor patofisiologik yang tidak diketahui.
Faktor-faktor
yang mempengaruhi ketersediaan hayati oabat yang digunakan secara oral:
Sifat
fisikokimia zat aktif.
i.
Bentuk isomer; alkaloid-alkaloid dan steroid-steroid terdapat dalam bentuk
isomer, seperti misalnya isomer d atau l. seringkali yang aktif atau diaktif
hanya salah satu saja, misalnya d-etambutol, d-propoksipen, d-amfetamin,
l-kloramfenikol.
ii.
Polimorfisme; bentuk kristal yang kurang stabil lebih mudah larut dan kemudian
cepat terabsorbsi daripada bentuk kristalnya yang stabil, misak kloramfenikol
mempunyai 2 bentuk polimorf A dan B; kristal bentuk A bersifat tidak aktif.
iii.
Ukuran partikel; bila ukuran partikel lebih kecil maka luas permukaan akan
besar sehingga obat – obat akan cepat melarut dan diabsorbsi.
iv.
Hidrat dan solvate; kadang – kadang beberapa bahan obat cenderung untuk
mengikat beberapa molekul pelarut. Ikatan ini disebut solvate, dan kalau
pelarutnya adalah air maka ikatan ini disebut hidrat. Ampisilin anhidrat lebih
mudah larut dibandingkan ampisilin trihidrat, sehingga pemakaian peroral akan
memberiakan blood level yang tinggi.
v.
Bentuk garam, ester dan lainnya; gugusan estolat dari eritromisin estolat dapat
menyebabkan hepatotoksisitas, sedangkan stearatnya tidak. Tapi sifat fisik
eritromisin mempersulit pengisian dalam jumlah yang cukup ke dalam kapsul yang
berukuran wajar. Pemadatan yang tidak tepat atas bahan baku ini sebaliknya
dapat menimbulkan persoalan disolusi dan ketersediaan hayati.
vi.
Kemurnian; bahan baku penisilin yang tidak murni bias mengandung
mikrokontaminan berupa hasil degradasi penisilin sendiri bahkan inferior ini
yang dapat menyebabkan alergi. Namun meskipun telah menggunakan bahan – bahan
baku murni jika cara dan kondisi produksi dalam hal ini kebersihan,temperature,
dan kelembapan kurang baik, bahan penisilin akan menimbulkan efek samping yang
sama.
Bahan
– bahan pembantu; banyak obat – obatan dimana pengaruh bahan – bahan pembantu
dapat merubah secara drastic pola absorbsinya dan oleh karena itu efek terapi
dan toksisitasnya juga berpengaruh, seperti meningkatnya toksisitas fenitoin
setelah bahan pembantu yang semula dipakai CaSO4 diganti dengan laktosa.
Cara
– cara prosesing
i.
Formulasi obat yang sudah baik dalam suatu pabrik bisa sama sekali berubah bila
dibuat oleh pabrik lain dengan menggunakan alat – alat yang berbeda. Hal ini
menjadi masalah kritis apabila digunakan untuk memproduksi tablet – tablet
dengan kadar zat khasiat yang rendah seperti digoksin 0,25 mg/tablet 200 mg.
ii.
Ruangan dan kondisi – kondisinya ( temperature, kelembaban, penerangan, dan
sebagainya ) yang memenuhi syarat. Misalnya pada pembuatan sediaan tetrasiklin
yang merupakan bahan baku yang kurang stabil pada kondisi tertentu sehingga
dapat mengakibatkan penguraian tetrasiklin menjadi nonaktif, hepatotoksik, dan
nefrotoksik.
iii.
Tenaga – tenaga yang kompeten.
iv.
Dikerjakan dengan system produksi dan system control yang baik. Dalam hal ini
persyaratan – persyaratan Good Manufacturing Practices ( GMP ) menjadi penting.
Komentar
Posting Komentar