Lika-Liku Kelakuan Di Organisasi
Perilaku organisasi merupakan sebuah
studi yang menyelidiki pengaruh yang dimiliki oleh individu, kelompok, dan
struktur terhadap perilaku dalam organisasi yang bertujuan menerapkan ilmu
pengetahuan semacam ini guna meningkatkan keefektifan suatu organisasi.
Perilaku organisasi adalah sebuah bidang studi, berarti bahwa PO adalah sebuah bidang keahlian khusus yang mempunyai pokok ilmu pengetahuan yang umum. PO mengajarkan tiga factor penentu perilaku dalam organisasi meliputi : Individu, Kelompok dan Struktur.
Dalam penelitian dikenal dengan variabel dependen dan independent. Begitu juga dengan PO. Variabel dependen adalah factor utama yang ingin dijelaskan atau diprediksikan dan dipengaruhi oleh factor-faktor lain. Beberapa variabel dependen dalam PO meliputi : produktivitas, absensi, turnover, dan kepuasan kerja. Lalu ditambahkan dua variabel lain yaitu perilaku menyimpang di tempat kerja dan perilaku kewarganegaraan organisasional (organizational citizenship behavior).
Produktivitas.
Suatu organisasi dikatakan produktif bila mencapai tujuan-tujuannya dan melakukannya dengan cara mengubah masukan menjadi hasil dengan biaya serendah mugkin. Menurut Bernardin dan Russke (1993), produktivitas dapat diartikan sebagai tingkat perbandingan antara keluaran (output) dengan masukan (input). John Suprihanto (1994:19) mendefinisikan produktivitas sebagai perbandingan hasil-hasil yang dicapai dengan keseluruhan sumber daya yang dipergunakan atau perbandingan jumlah produksi (output) dengan sumber daya yang dipergunakan (input).
Beberapa faktor yang mempengaruhi produktivitas antara lain :
Perilaku organisasi adalah sebuah bidang studi, berarti bahwa PO adalah sebuah bidang keahlian khusus yang mempunyai pokok ilmu pengetahuan yang umum. PO mengajarkan tiga factor penentu perilaku dalam organisasi meliputi : Individu, Kelompok dan Struktur.
Dalam penelitian dikenal dengan variabel dependen dan independent. Begitu juga dengan PO. Variabel dependen adalah factor utama yang ingin dijelaskan atau diprediksikan dan dipengaruhi oleh factor-faktor lain. Beberapa variabel dependen dalam PO meliputi : produktivitas, absensi, turnover, dan kepuasan kerja. Lalu ditambahkan dua variabel lain yaitu perilaku menyimpang di tempat kerja dan perilaku kewarganegaraan organisasional (organizational citizenship behavior).
Produktivitas.
Suatu organisasi dikatakan produktif bila mencapai tujuan-tujuannya dan melakukannya dengan cara mengubah masukan menjadi hasil dengan biaya serendah mugkin. Menurut Bernardin dan Russke (1993), produktivitas dapat diartikan sebagai tingkat perbandingan antara keluaran (output) dengan masukan (input). John Suprihanto (1994:19) mendefinisikan produktivitas sebagai perbandingan hasil-hasil yang dicapai dengan keseluruhan sumber daya yang dipergunakan atau perbandingan jumlah produksi (output) dengan sumber daya yang dipergunakan (input).
Beberapa faktor yang mempengaruhi produktivitas antara lain :
- Individual. Faktor ini datang dari dalam diri
si pekerja dan sudah ada sebelum ia mulai bekerja. Faktor diri
tersebut antara lain : karakteristik biografi, kepribadian dan emosi,
nilai-nilai dan sikap, persepsi, motivasi, pembelajaran individual, dan
kemampuan.
- Kelompok. Faktor ini merupakan faktor level kelompok
seperti komunikasi, konflik, kekuatan dan politik, tim kerja, struktur
kelompok, kepemimpinan dan kepercayaan, dan pembuatan keputusan kelompok.
- Organisasi. Faktor ini datang dari luar si pekerja dan
hampir sepenuhnya dapat diatur dan diubah oleh pimpinan perusahaan sehingga
disebut juga faktor-faktor manajemen, yang antara lain : (a) Faktor sosial
dan keorganisasian seperti karakteristik perusahan, pendidikan dan
latihan, pengawasan, pengupahan dan lingkungan sosial. (b) Faktor fisik
antara lain mesin, peralatan, material, lingkungan kerja, metode kerja.
Mangkir
Absenteeism didefinisikan sebagai ketidakhadiran di kantor tanpa izin. Mangkir merupakan kerugian dan gangguan yang sangat besar bagi pemberi kerja. Tingginya angka ketidakhadiran merugikan perusahaan karena perusahaan tetap mengeluarkan uang untuk membayar gaji pegawai, tetapi di sisi lain pegawai tidak memberikan kontribusi apapun pada saat absen. Dengan demikian, semakin banyak waktu absen yang diambil seorang pegawai, maka semakin berkurang produktivitas kerjanya.
Beberapa penyebab absenteeism menurut Streers dan Rhodes adalah :
- Situasi kerja seperti wilayah pekerjaan, level
pekerjaan, penekanan terhadap kelompok, norma kelompok kerja, gaya
pemimpin, hubungan antar karyawan, dan kesempatan untuk maju.
- Nilai-nilai karyawan dan harapan kerja
- Karakteristik personal meliputi pendidikan, pengalaman,
umur, sex dan family size
- Kepuasan pada situasi kerja
- Tekanan untuk hadir meliputi kondisi ekonomi dan pasar,
sistem insentif, norma kelompok kerja, etika kerja personal dan komitmen
organisasi.
- Motivasi kehadiran
- Kemampuan untuk hadir meliputi sakit dan kecelakaan,
tanggung jawab keluarga, dan problem transportasi.
- Kehadiran karyawan.
Delapan faktor ini merupakan sebuah
model konseptual yang didasarkan pada 104 studi tentang ketidakhadiran (Steers
dan Rhodes, 1978; dalam Usmara, 2003:51).
Lihat : Handbook of Organizations, Kajian dan Teori Organisasi, editor Usmara, Penerbit Amara Books, Yogyakarta.
Turnover
Perputaran karyawan adalah pengunduran diri secara permanen secara sukarela maupun tidak sukarela dari suatu organisasi. Menurut Mueller (2003: hal 2-5), ada beberapa aspek yang bisa dipakai sebagi prediktor dari turnover. Yakni:
Lihat : Handbook of Organizations, Kajian dan Teori Organisasi, editor Usmara, Penerbit Amara Books, Yogyakarta.
Turnover
Perputaran karyawan adalah pengunduran diri secara permanen secara sukarela maupun tidak sukarela dari suatu organisasi. Menurut Mueller (2003: hal 2-5), ada beberapa aspek yang bisa dipakai sebagi prediktor dari turnover. Yakni:
- Alternatif –alternatif yang ada di luar organisasi (External
alternatives.). Dikarenakan
adanya kecenderungan karyawan untuk meninggalkan organisasi di saat mereka
memiliki tempat yang menjadi tujuan, maka literatur lebih menekankan pada
persepsi mengenai alternatif eksternal sebagai prediktor dari turnover organisasional.
- Alternatif-alternatif yang ada di dalam organisasi (Internal
alternatives). Menurut
Cable dan Turban (2001) dalam Mueller (2003:hal 2-3) bagi banyak karyawan,
minat dan ketertarikan pada pekerjaan tidak hanya semata didasarkan pada
posisi yang tersedia namun juga konteks organisasi secara keseluruhan.
Salah satu konteks organisasional yang penting tersedianya adalah
alternatif di dalam organisasi tersebut. Ketersediaan dan kualitas
pekerjaan yang bisa diacapai dalam organisasi bisa digunakan sebagai
indeks utilitas dari turnover disamping persepsi terhadap
alternatif eksternal. Karyawan tidak akan melakukan turnover dari
organisasi jika ia merasa bahwa ia bisa atau mempunyai kesempatan untuk
pindah (internal transfer) ke pekerjaan lain, di organisasi yang
sama yang dianggapnya lebih baik.
- Harga /nilai dari perubahan kerja ( Cost of job
change) Individu meninggalkan
organisasi seringkali dikarenakan tersedianya alternatif-alternatif yang
mendorong mereka untuk keluar dari organisasi. Namun ada faktor lain yang
membuat individu memilih untuk tetap bertahan, yakni faktor keterikatan (Embeddedness.
Individu yang merasa terikat dengan organisasi cenderung untuk tetap
bertahan di organisasi. Keterikatan menunjukkan pada kesulitan yang
dihadap oleh individu untuk berpindah / mengubah pekerjaan, meski ia
mengetahui adanya alternatif yang lebih baik di luar. Salah satu faktor
yang meningkatkan harga dari turnover adalah asuransi kesehatan dan
benefit-benefit yang didapat dari organisasi (misal pensiun dan
bonus-bonus). Hubungan finansial ini juga berkaitan erat dengan komitmen
kontinuans (continuance commitment), yaitu kesadaran karyawan bahwa
turnover membutuhkan biaya (Meyer & Allen, 1997) dalam Mueller
(2003: hal 4-5)
- Kejadian-kejadian kritis (Critical Events). Menurut Beachs (1990) dalam Mueller (2003:10-13),
kebanyakan orang jarang memutuskan apakah mereka tetap bertahan di
pekerjaan yang ada ataupun tidak, dan tetap mempertahankan pekerjaan yang
sama sebagai fungsi dari suatu pilihan dibanding suatu kebiasaan.
Kejadian-kejadian kritis, memberikan kejutan yang cukup kuat bagi sistem
kognitif individu untuk menilai ulang kembali situasi yang dihadapi dan
melakukan tindakan nyata. Contoh dari kejadian-kejadian kritis diantaranya
adalah perkawinan, perceraian, sakit atau kematian dari pasangan,
kelahiran anak, kejadian yang berkaitan dengan pekerjaan seperti diabaikan
dalam hal promosi, menerima tawaran yang lebih menjanjikan atau mendengar
tentang kesempatan kerja yang lain. Semua kejadan-kejadian tersebut bisa
meningkatkan atau menurunkan kecenderungan seseorang untuk turnover, karena
setiap kejadian bisa disikapi secara berbeda antara individu yang satu
dengan yang lain.
Tercakup di dalam kejadian-kejadian
kritis adalah :
- Kejadian yang berulang (continuation events)
- Kejadian yang bersifat netral (neutral events)
- Kejadian yang tidak berulang (discontinuation
events)
Perilaku Kewargaan Organisasi
(Organizational Citizenship Behavior)
Merupakan perilaku pilihan yang tidak menjadi bagian dari kewajiban kerja formal seorang karyawan, namun mendukung berfungsinya organisasi tersebut secara efektif. Organizational Citizenship Behavior (OCB) ini juga sering diartikan sebagai perilaku yang melebihi kewajiban formal (ekstra role) yang tidak berhubungan dengan kompensasi langsung. Artinya, seseorang yang memiliki OCB tinggi tidak akan dibayar dalam bentuk uang atau bonus tertentu, namun OCB lebih kepada perilaku sosial dari masing-masing individu untuk bekerja melebihi apa yang diharapkan, seperti membantu rekan di saat jam istirahat dengan sukarela adalah salah satu contohnya.
Kedudukan OCB sebagai salah satu bentuk perilaku extra-role, telah menarik perhatian dan perdebatan panjang di kalangan praktisi organisasi, peneliti maupun akademisi. Podsakoff (2000) mencatat lebih dari 150 artikel yang diterbitkan di jurnal-jurnal ilmiah dalam kurun waktu 1997 hingga 1998. Namun demikian, penelitian di lapangan masih meninggalkan beberapa permasalahan krusial yang menuntut penanganan yang lebih intensif dan menyeluruh.
Beberapa faktor yang mempengaruhi OCB antara lain (Organ, 1995; Sloat, 1999) :
Merupakan perilaku pilihan yang tidak menjadi bagian dari kewajiban kerja formal seorang karyawan, namun mendukung berfungsinya organisasi tersebut secara efektif. Organizational Citizenship Behavior (OCB) ini juga sering diartikan sebagai perilaku yang melebihi kewajiban formal (ekstra role) yang tidak berhubungan dengan kompensasi langsung. Artinya, seseorang yang memiliki OCB tinggi tidak akan dibayar dalam bentuk uang atau bonus tertentu, namun OCB lebih kepada perilaku sosial dari masing-masing individu untuk bekerja melebihi apa yang diharapkan, seperti membantu rekan di saat jam istirahat dengan sukarela adalah salah satu contohnya.
Kedudukan OCB sebagai salah satu bentuk perilaku extra-role, telah menarik perhatian dan perdebatan panjang di kalangan praktisi organisasi, peneliti maupun akademisi. Podsakoff (2000) mencatat lebih dari 150 artikel yang diterbitkan di jurnal-jurnal ilmiah dalam kurun waktu 1997 hingga 1998. Namun demikian, penelitian di lapangan masih meninggalkan beberapa permasalahan krusial yang menuntut penanganan yang lebih intensif dan menyeluruh.
Beberapa faktor yang mempengaruhi OCB antara lain (Organ, 1995; Sloat, 1999) :
- Budaya dan iklim organisasi
- Kepribadian dan suasana hati
- Persepsi terhadap dukungan organisasional
- Persepsi terhadap kualitas hubungan/interaksi atasan
bawahan
- Masa kerja, dan
- Jenis Kelamin
Sedangkan Spector (1997, dalam
Robbins, 2003:105) menambahkan kepuasan terhadap kualitas kehidupan kerja
sebagai penentu utama dari perilaku kewarganegaraan yang baik dari seorang
karyawan (organizational citizenship behavior-OCB).
Catatan Pribadi : saya sendiri menganggap OCB lebih dipengaruhi oleh kepribadian atau lebih tepatnya kecerdasan emosi. Dibandingkan faktor2 situasional dan kondisi kerja di atas atau dapat dijadikan mediator atau perantara dari faktor-faktor di atas. Karena berdasarkan pengalaman kerja saya selama ini, dapat dilihat bahwa banyak karyawan yang puas dengan kondisi dan situasi kerja namun tetap tidak memiliki perilaku ekstra seperti ini. Orang-orang yang memiliki OCB tinggi ini umumnya supel dan ramah, perilaku nya tidak didorong oleh embel-embel duit, sukarela dan iklas membantu.
Kepuasan Kerja (Job Satisfaction)
Kepuasan kerja merupakan penerimaan positif atas kondisi dan situasi kerja.. Tidak seperti variabel sebelumnya, kepuasan kerja lebih menggambarkan sikap daripada perilaku. Dijadikannya kepuasan sebagai variabell dependen yang utama didasarkan pada berbagai penelitian yang memeperlihatkan hubungan kepuasan kerja dengan banyak faktor lain oleh peneliti PO.
Keyakinan bahwa karyawan yang merasa puas lebih produktif bila dibandingkan dengan karyawan yang tidak puas telah menjadi prinsip dasar di antara para manager selama bertahun-tahun, meski pun akhir-kahir ini terdapat keraguan tentang hubungan antara kepuasan – kinerja.
Penelitian yang mendukung berhasil dikumpulkan dari 2.500 unit bisnis yang menemukan bahwa unit yang mendapat nilai di atas 25 persen dalam survey opini karyawan adalah mencapai rata-rata 4,6% di atas anggaran penjualan mereka untuk tahun tersebut. Sementara mereka yang mendapat nilai dibawah 25 persen adalah 0,8 di bawah anggaran. Artinya, memang terdapat perbedaan yang signifikan dilihat dari kinerja berdasarkan kepuasan kerja.
Namun sebuah model yang dikembangkan oleh Lawyer justru sebaliknya. Dengan mengadopsi teori pengharapan, Lawyer menyusun sebuah model dengan urutan : Motivasi – Usaha / Kemampuan – Kinerja – Hasil kerja – Kepuasan. Atau dapat dinyatakan bahwa :
Catatan Pribadi : saya sendiri menganggap OCB lebih dipengaruhi oleh kepribadian atau lebih tepatnya kecerdasan emosi. Dibandingkan faktor2 situasional dan kondisi kerja di atas atau dapat dijadikan mediator atau perantara dari faktor-faktor di atas. Karena berdasarkan pengalaman kerja saya selama ini, dapat dilihat bahwa banyak karyawan yang puas dengan kondisi dan situasi kerja namun tetap tidak memiliki perilaku ekstra seperti ini. Orang-orang yang memiliki OCB tinggi ini umumnya supel dan ramah, perilaku nya tidak didorong oleh embel-embel duit, sukarela dan iklas membantu.
Kepuasan Kerja (Job Satisfaction)
Kepuasan kerja merupakan penerimaan positif atas kondisi dan situasi kerja.. Tidak seperti variabel sebelumnya, kepuasan kerja lebih menggambarkan sikap daripada perilaku. Dijadikannya kepuasan sebagai variabell dependen yang utama didasarkan pada berbagai penelitian yang memeperlihatkan hubungan kepuasan kerja dengan banyak faktor lain oleh peneliti PO.
Keyakinan bahwa karyawan yang merasa puas lebih produktif bila dibandingkan dengan karyawan yang tidak puas telah menjadi prinsip dasar di antara para manager selama bertahun-tahun, meski pun akhir-kahir ini terdapat keraguan tentang hubungan antara kepuasan – kinerja.
Penelitian yang mendukung berhasil dikumpulkan dari 2.500 unit bisnis yang menemukan bahwa unit yang mendapat nilai di atas 25 persen dalam survey opini karyawan adalah mencapai rata-rata 4,6% di atas anggaran penjualan mereka untuk tahun tersebut. Sementara mereka yang mendapat nilai dibawah 25 persen adalah 0,8 di bawah anggaran. Artinya, memang terdapat perbedaan yang signifikan dilihat dari kinerja berdasarkan kepuasan kerja.
Namun sebuah model yang dikembangkan oleh Lawyer justru sebaliknya. Dengan mengadopsi teori pengharapan, Lawyer menyusun sebuah model dengan urutan : Motivasi – Usaha / Kemampuan – Kinerja – Hasil kerja – Kepuasan. Atau dapat dinyatakan bahwa :
- Pertama, kekuatan motivasi seseorang untuk berkinerja
baik secara langsung nampak dari usahanya (seberapa keras ia bekerja).
Usaha yang dihasilkan ini bisa saja menghasilkan kinerja yang bagus tepai
bisa juga tidak, karena sekurang-kurangnya dua faktor harus benar jika
usaha (effort) harus dikonversikan menjadi kinerja. Pertama, orang
tersebut harus memiliki kemampuan yang dibutuhkan agar mampu bekerja
dengan baik. Jika kemampuan dan usaha yang tidak tinggi maka tidak akan
menghasilkan kinerja yang baik. Faktor kedua adalah persepsi orang
tersebut tentang bagaimana usahanya dikonversikan dengan sebaik-baiknya
menjadi kinerja. Di asumsikan bahwa persepsi ini dipelajari oleh individu
dari pengalaman sebelumnya pada situasi yang sama. Persepsi “bagaimana
melakukannya” ini jelas bisa lebar sekali variannya, dan kalau muncul
persepsi salah maka kinerja bisa saja rendah meskipun usaha dan motivasi
tinggi.
- Kedua, ketika terjadi kinerja, individu memperoleh
sejumlah hadil dari kerja. Hasil kerja ekstrinsik yang bisa saja
tidak diterima oleh individu
- Ketiga, sebagai akibat dari diperolehnya hasil kerja
dan persepsi yenyang nilai rata-rata hasil kerja, individu memiliki respon
efektif positif atau negatif (kepuasan atau ketidakpuasan)
- Keempat, model ini menunjukkan peristiwa yang terjadi
mempengaruhi perilaku organisasi dengan mengubah persepsi E – P,P – O, dan
V. Proses ini digambarkan dalam garis putar umpan balik dan kemudian kembali
ke motivasi.
Sumber :
Handbook of Organizations, Kajian dan Teori Organisasi, editor Usmara, Penerbit Amara Books, Yogyakarta.
Kreitner dan Kinicki. 2005. Perilaku Organisasi, Buku 1 & 2. Salemba Empat, Jakarta.
Robbins dan Judge. 2008. Perilaku Organisasi, Buku 1, Cet. 12. Salemba Empat, Jakarta.
Mueller ,John Dwight Kammeyer. 2003. Turnover Processes in a Temporal Context:It’s About Time.
Handbook of Organizations, Kajian dan Teori Organisasi, editor Usmara, Penerbit Amara Books, Yogyakarta.
Kreitner dan Kinicki. 2005. Perilaku Organisasi, Buku 1 & 2. Salemba Empat, Jakarta.
Robbins dan Judge. 2008. Perilaku Organisasi, Buku 1, Cet. 12. Salemba Empat, Jakarta.
Mueller ,John Dwight Kammeyer. 2003. Turnover Processes in a Temporal Context:It’s About Time.
Komentar
Posting Komentar